Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
KPU dan Bawaslu
Calon Anggota KPU dan Bawaslu Harus Telah Lima Tahun Keluar dari Parpol
Thursday 05 Jan 2012 00:14:45
 

Persidangan yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (Foto: Ist)
 
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Persyaratan bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sekurang-kurangnya dalam jangka waktu lima tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik (parpol) pada saat mendaftar.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Mahfud MD mengutip sebagian amar putusannya atas uji material (judicial review) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang berlangsung di gedung MK, Rabu (4/1).

Putusan ini berarti mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan 136 Pemohon yang terdiri 23 badan hukum privat dan 113 perorangan. Pitusan ini juga menandai bahwa Pasal 27 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945.

Seperti dikutip laman resmi MK, dalam amar putusan tersebut, Mahkamah menyatakan Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU Penyelenggara Pemilu sepanjang frasa, “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik … pada saat mendaftar sebagai calon” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon”.

Mahkamah juga menyatakan Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan ayat (5) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap”. Sehingga Pasal 109 ayat (4) tersebut selengkapnya harus dibaca: “DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. 1 (satu) orang unsur KPU; b. 1 (satu) orang unsur Bawaslu; e. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.”

Kemudian, menyatakan Pasal 109 ayat (11) sepanjang frasa “berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan masing-masing unsur” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 109 ayat (11) tersebut selengkapnya harus dibaca, ”Setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Conflict of Interest
Mahkamah dalam pendapatnya juga menyatakan, Pemilu harus dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. Asas jujur dan adil hanya dapat terwujud jika, antara lain, penyelenggara Pemilu tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain manapun.

Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau parpol sebab berpotensi dan rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan, sehingga pemilu harus diselenggarakan oleh suatu KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri sebagaimana Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan KPU adalah bagian dari komisi pemilihan umum yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 memiliki sifat mandiri.

Keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada peserta Pemilu akan mengakibatkan distrust serta menimbulkan proses dan hasil yang dipastikan tidak fair, sehingga menghilangkan makna demokrasi yang berusaha diwujudkan melalui Pemilu yang “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.

Adalah hal yang tidak sejalan dengan logika dan keadilan, jika Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang terdiri atau beranggotakan para peserta Pemilu itu sendiri. Meskipun bukan sesuatu yang niscaya, adanya keterlibatan parpol sebagai penyelenggara Pemilu akan membuka peluang keberpihakan (conflict of interest) penyelenggara pemilihan umum kepada salah satu kontestan.

Menurut Mahkamah, keterlibatan secara langsung parpol sebagai penyelenggara pemilihan umum, setidaknya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu i) diakomodasinya anggota parpol menjadi anggota komisi pemilihan umum; atau ii) diakomodasinya orang yang bukan anggota parpol, namun memiliki kepentingan politik yang sama dengan parpol tertentu.

Dari perspektif teleologis terkait dengan kemandirian yang ingin dicapai, diakomodasinya anggota parpol menjadi anggota KPU dapat saja dilakukan dengan asumsi bahwa anggota parpol yang kemudian memegang jabatan publik tidak selalu berpihak kepada parpol asalnya. Namun, tetap disyaratkan anggota parpol dan masyarakat politik harus memiliki kedewasaan berpolitik serta sifat kenegarawanan, dan tetap berada di atas kepentingan semua golongan dan semua kelompok.

Untuk menjamin kemandirian komisi pemilihan umum, terutama dari sisi rekrutmen, setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu penguatan proses seleksi dan penguatan sistem yang mendukung seleksi. Bertolak dari pertimbangan tersebut, UU harus membangun sistem rekrutmen yang menuju pada upaya memandirikan komisi pemilihan umum. Sistem rekrutmen ini haruslah meminimalkan komposisi keanggotaan dalam komisi pemilihan umum yang memiliki potensi keberpihakan.

Karena peserta Pemilu adalah parpol, maka UU harus membatasi atau melepaskan hak parpol peserta pemilu untuk sekaligus bertindak sebagai penyelenggara Pemilu. Parpol dimaksud meliputi anggota parpol yang masih aktif atau mantan anggota parpol yang masih memiliki keberpihakan kepada parpol asalnya, atau masih memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan parpol dimaksud.

Pelepasan hak anggota parpol untuk menjadi anggota komisi pemilihan umum bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan umum.

Dari kedua perspektif di atas, baik yang berorientasi pada tujuan (teleologis) maupun yang berorientasi pada proses/cara (deontologis), kata “mandiri” yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dalam kaitannya dengan rekrutmen atau pendaftaran calon anggota KPU dan Bawaslu, haruslah dihindari penerimaan calon anggota komisi pemilihan umum yang berasal dari unsur parpol. (mkg/wmr)




 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2